Pages

Jumat, 06 Januari 2012

Dua Pelangi (Bagian Satu / 1)




Dua Pelangi
Bagian Satu
                Hujan tidak akan turun hingga minggu depan. Setidaknya, itu adalah laporan cuaca dari kantor RRI pusat pagi ini. Musim hujan baru saja tiba. BMG kota melaporkan tak ada hujan minggu ini. Semua orang bebas keluar rumah tanpa membawa payung. Benar. Matahari bersinar cerah hari ini.
            Beberapa gerombolan anak-anak berseragam merah-putih melintas melewati sebuah rumah paling mewah di kompleks mereka. Seorang dari gerombolan anak-anak SD itu berhenti di depan gerbang. Ia kemudian melambaikan tangan pada teman-temannya. Sampai jumpa. Mungkin itu katanya. Suaranya jelas tidak keluar, bibirnya lah yang sibuk berkomat-kamit. Ini karena suara bising dari mesin proyek pembangunan rumah di sekitar kompleks. Kota-kota memang sedang di bangun.
           
            “Tadi Derek yang ambil sa punya uang, Mama” Anak kecil tadi berdiri di depan Mamanya dengan wajah bersalah. Sementara Mamanya memasang wajah mengerikan. Ia hendak memakan anak itu jika saja si anak tidak mengaku kenapa ia tidak makan siang. Rupanya, ia cukup berbaik hati dengan memberikan uang sakunya untuk teman-temannya yang kurang beruntung.
            “Besok jan kasih dia uang lagi, Ma!”, tukas sang kakak, Dara, dengan senyum mengejek. Doni sangat kesal melihat wajah kakaknya. Ia pun memasang muka garangnya, mirip sang Mama jika sedang marah.
            “Mbak kenapa siihhh? Sa kan baik. Tidak kayak Mbak. Pelit!!” Doni mulai mengolok Dara.
            “Ehh! Doni. Mbak kalo bersedekah nggak kayak kamu. Secukupnya. Kita juga kan butuh makan!” Dara menjelaskan hakikat membantu orang lain yang baik. Berpahala dan tidak membuat kita menderita.
            “Kata siapa itu, Mbak? Doni tra pernah baca di buku agama!”
Doni tetap kekeuh  dengan pendapatnya. Ia menantang Dara menunjukkan bukti yang bisa membenarkan ucapan Dara barusan.
“Itu dipelajari di tingkat SMA. Bukan di tingkat SD kayak kamu!” jawab Dara dengan asal. Kemudian ia berlalu meninggalkan Doni yang menatap tidak percaya. Kakaknya benar-benar menyebalkan.
Dara selalu begitu. Membuat argument-argumen yang ia rangkai sendiri dengan pembenaran sendiri pula. Sasaran selalu Doni. Adiknya yang bawel dan terlalu banyak Tanya. Apapun yang ada di hadapannya, bila terlihat tidak biasa, akan menjadi pertanyaan yang berlanjut debat argument yang menyusahkan orang di sekitar. Pernah, suatu ketika, Doni membawa pulang seekor burung gereja yang luka akibat lembaran batu anak-anak sekitar. Saat sedang asyik mengobati Billy (nama burung itu), lewatlah Dara dengan memegang satu kantung belanjaan.
“Mbak beli snack tidak?”
Dara berhenti sejenak dan menatap adik kecilnya dengan heran. Ia memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas benda apa yang sedang dipangku Doni.
“Mbak nggak beli makanan!”
“Tapi disitu tertulis Gary Chocolatos,”ujar Doni seraya menunjuk sisi kantong belanjaan yang transparan. Samar-samar tertulis Gary Chocolatos.
“Mbak nggak beli makanan, Doni!” bentak Dara seraya berlalu menuju ruang utama.
Baru beberapa langkah, Doni sudah berteriak. “Mbak pelit deh! Sa  kan Cuma mau minta sedikit!”
Dara berbalik dengan tatapan sinis. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa memiliki seorang adik yang sifatnya tidak jauh dari kedua orangtuanya. Selalu mengatakan apapun secara terbuka. Blak-blakan.
“Pelit? Kenapa Mbak pelit? Mbak nggak kasih kamu apa sih? Hah?!” bentak Dara. Ia bersikap tidak mengerti permasalahan yang dibuat Doni.
“Aku mau coklat, Mbak! Yang baru mbak beli”, tutur Doni sambil tertunduk sedih. Ia sedih dibentak oleh kakaknya.
Dara beranjak mendekati Doni dengan kesal. Ia mengeluarkan isi kantong belanjaannya di hadapan Doni. Maka terlihatlah apa yang Doni piker disembunyikan oleh Dara. Sebuah sabun cuci piring, sebungkus deterjen, sebotol shampoo, dan sebuah brosur promosi dari Gary Chocolatos.

Kota Jayapura kembali tersiram hujan. Tepat seperti prakiraan cuaca minggu lalu. Maka, setiap orang sudah menyediakan payung di dalam tas masing-masing. Tetapi, tidak dengan Dara. Ia pulang dengan bersimbah air hujan. Baju seragam kesayangannya harus basah terkena air hujan. Dara berlari cepat menuju rumahnya begitu ia turun dari taksi  (sebutan angkutan umum di Jayapura). Jarak rumah Dara dengan jalan utama cukup jauh. Hal inilah yang mengakibatkan Dara kebasahan.
Ketika tiba di depan rumahnya. Dara melihat sebuah benda yang tidak asing. Koran. sebuah Koran teronggok di atas karpet. Siapa yang berlangganan Koran siang, batin Dara heran.
“Ma! Siapa yang langganan Koran selain Cepos?”, tanya Dara begitu memasuki ruang tengah. Ia melemparkan Koran tersebut di atas meja, kemudian berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Tante Inue, pembantu mereka, segera membersihkan air-air yang terjatuh dari tubuh Dara seraya mengomel dalam hati. Huh, tidak tahu diri ini anak!
Seusai Dara mandi, ia belum melihat Ibunya yang di ajak bicara sejak tadi. Mobil ibunya yang tadi terparkir di luar sudah tidak ada. Tetapi, Koran yang ditemukan Dara di luar masih teronggok di atas meja.
“Jakarta Post? Tahun 1988? Pencurian Rumah Kosong Menewaskan Dua Orang”
Dara terkejut membaca judul dan tahun Koran tersebut.  Alisnya semakin menukik tidak mengerti arti dari judul artikel tersebut. Dara akhirnya memutuskan untuk membaca Koran lama itu.
Jakarta- Aksi pencurian rumah kosong kembali terjadi. Kali ini sindikat pencurian yang telah lama di cari polisi kembali beraksi pada sebuah rumah kosong di wilayah puncak Bogor. Rumah mewah berlantai tiga itu telah kosong selama tiga hari ditinggal pemiliknya yang sedang berada di Jakarta. Anehnya, ditemukan dua mayat yang tergeletak tak bernyawa di sana. Menurut pemaparan pemilik rumah, Dr. Hasan dan Ibu Miranti, kedua mayat tersebut adalah penjaga rumah mereka.
Dara semakin terkejut membaca kedua orangtuanya disebut di dalam Koran itu sebagai pemilik rumah. Seingat Dara, ia tidak memiliki rumah di Bogor. Lalu siapa yang menjadi ayah dan ibunya di dalam Koran itu. Lalu siapa yang meletakkan Koran lama itu di depan pintu. Dara bergidik membayangkan pelaku pencurian itu membantai dua orang penjaga rumah.
Bersambung.....

Senin, 02 Januari 2012

Sinopsis New Story ^^

Cinta ternyata adalah sebuah kendaraan. Ia dapat membawamu kemana pun, tergantung keinginan hatimu. Bisa membawamu ke sebuah tempat indah yang bertaburkan kebahagiaan. Namun, bagaimana jika cinta membuatmu terhanyut ke tempat mengerikan bertaburankan kesepian dan dusta??? kemudian, ia meninggalkanmu sendirian di tempat itu. Sendirian. Ia memaksamu mencari sendiri jalan keluar. Bukankah ini karena keinginanmu? Cinta jelas tidak mau disalahkan. "Aku hanya sebuah kendaraan!" Begitu katanya.

Apa yang akan kamu lakukan?? Diam dan menangis dalam pahit? Atau, berdamai dengan hati lalu mencari jalan keluar??

Aku, tidak akan melakukan keduanya!!



Nantikan cerita selanjutnya...
Karena cinta bisa membawamu kemana saja.

Maaf, saya merasa terlalu banyak ide yang terlintas di benak saya untuk ide cerita saya yang pertama. Sehingga saya merasa kesulitan untuk memulai darimana. Ditambah lagi, saya punya deadline tiga cerpen yang harus saya selesaikan bulan ini. Sementara saya bukanlah penulis yang 'Produktif". Maka saya memutuskan untuk mengganti tema yang sedikit tidak begitu memusingkan diriku..

Jadi, tunggu ceritaku, BESOK!!!

Semangat Nekaders !!!!